bab1 pendahuluan
Konflik adalah suatu masalah sosial yang timbul
karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam masyarakat maupun
negara.
LATAR BELAKANG
Ketua DPR, Setya
Novanto, menyayangkan bentrokan massal di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, kembali
mengugah rasa kemanusiaan kita sebagai sesama anak bangsa. Apapun alasannya,
kekerasan bukanlah solusi penyelesaian masalah.
"Apapun latar
belakangnya, kekerasan tidak pernah menjadi pilihan bagi satu agama dalam
menjalankan ajaran dan mencapai misinya," kata dia.
"Oleh karena itu,
saya menyayangkan peristiwa kekerasan yang menjatuhkan banyak korban di Aceh
Singkil, Aceh. Aksi yang dilakukan kelompok manapun, tidak pernah memperoleh
pembenaran atas alasan apapun di Bumi Pertiwi Indonesia," kata Novanto
dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu.
Apalagi, sambungnya,
jika aksi kekerasan itu melibatkan sentimen keagamaan. Sentimen yang seharusnya
mengarahkan pada kehidupan yang damai dan harmonis, sesuai prinsip dan nilai
keagamaan yang senantiasa menjadikan kedamaian sebagai tujuan bersama.
"Saya menghimbau
aparat penegak hukum mengambil langkah cepat dan responsif, agar tidak
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Saya menghimbau kepada
pihak-pihak yang terlibat bentrok unmenahan diri dan menyerahkan mekanisme
penyelesaian kepada pihak berwenang," kata Novanto.
"Hanya dengan
itu, kita dapat menjaga kerukunan dan kedamaian. Hanya dengan itu, kita
membuktikan bahwa perbedaan adalah rahmat dan bagian dari kebhinnekaan kita
sebagai anak bangsa." imbuhnya.Terakhir dia meminta semua elemen
masyarakat untuk menjadikan momen Tahun Baru Islam 1437 Hijriah yang jatuh pada
hari ini, Rabu 14 Oktober 2015, untuk menyucikan jiwa, membersihkan hati sehingga
menjadikan diri kita sebagai pribadi yang bersih, respek kepada sesama anak
bangsa.
"Yang tentunya
akan melihat perbedaan bukan sebagai pemisah atau pemecah, namun jusru menjadi
pemersatu seluruh Rakyat Indonesia, sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika,"
kata dia.
Bentrokan
massa yang menewaskan seorang warga di Kabupaten Aceh Singkil, dipicu persoalan
rumah ibadah. Masalah ini diakui sudah berlangsung lama, namun penyelesaiannya
tak pernah tuntas.
Seorang
mahasiswa asal Aceh Singkil, Zairin mengatakan Pemerintah Kabupaten setempat
terkesan membiarkan masalah ini berlarut-larut sehingga memicu kerusuhan, dan
berpotensi merusak kerukunan umat beragama di sana.“Konflik ini sudah
berlangsung lama,” ujar Zairin dalam aksi simpatik di Bundaran Simpang Lima, Banda
Aceh, Selasa (13/10/2015).
Puluhan
mahasiswa asal kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera
Utara itu menuntut tanggung jawab pemerintah, yang selama ini dinilai
membiarkan pertumbuhan rumah ibadah berupa gereja dan gedung-gedung illegal di
sana.
Mereka
mendesak pemerintah segara mengatasi masalah itu, karena jika tidak konflik
SARA berpotensi pecah di Aceh Singkil dan bisa merenggut korban lebih banyak
lagi."Kami menolak konflik SARA di Singkil,” sambungnya.
Sementara
itu, Wakil Bupati Aceh Singkil Dulmusrid mengatakan, pihaknya tak pernah
membiarkan persoalan ini berlarut. “Kita terus mencari solusi,” ujar Dulmusrid.
Pemkab
mencatat ada 24 rumah gereja dan gedung-gedung di sana didirikan tanpa izin.
Awalnya dalam pertemuan tahun 2001 diputuskan di Aceh Singkil hanya diizinkan
berdiri satu gereja, dan empat undang-undang. Namun dalam kurun 14 tahun
terakhir tempat ibadah itu bertambah pesat, tanpa lewat proses izin resmi.
Tahun
lalu sebagian diantaranya rumah ibadah illegal itu sempat disegel, setelah
adanya protes dari sejumlah warga. Akhir-akhir ini masalah tersebut kembali
memanas menyusul desakan dari massa menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI)
agar rumah ibadah itu dibongkar.Senin 12 Oktober kemarin, Muspida bersama forum
komunikasi antar umat beragama, tokoh masyarakat dan perwakilan ormas kembali
berembuk. Kemudian disepakati 10 diantara rumah ibadah tanpa izin dibongkar,
sisanya diwajibkan mengurus izin."Memang sudah sepakat untuk dibongkar,
tapi bukan hari ini. Menurut kesepakatan akan dibongkar 19 Oktober
mendatang," tukas Dulmusrid.Namun, kata dia, ada sekelompok massa yang tak
puas dengan kesepakatan itu. Mereka tetap ngotot rumah ibadah itu harus
dibongkar hari ini, sehingga terjadi perlawanan dari kelompok lainnya. Bentrokan
pun pecah.
Bab 2
A.FAKTOR-FAKTOR PECAHNYA KONFLIK
Kerusuhan di Aceh Singkil
ini terjadi disebab beberapa faktor, antara lain: Pertama, karena persoalan
hukum dan “pembenturan” kalangan tertentu terhadap kearifan regulasi yang ada
di Aceh. Sebagai bukti, banyaknya pembangunan gereja liar dan tanpa izin.
Pembangunan gereja ini menyalahi aturan yang ada termasuk mengangkangi komitmen
masyarakat yang telah pernah disepakati.
Sekitar 36 tahun lalu, tepatnya pada 1979, pernah ada kesepakatan antara warga Aceh Singkil tentang pendirian rumah ibadah umat Kristiani. Dalam kesepakatan itu, gereja dibenarkan berdiri hanya satu unit. Sedangkan undung-undung (sejenis gereja kecil) empat unit. Lalu 22 tahun kemudian atau tepatnya 2001, perjanjian itu diperkokoh kembali.
Komitmen ini seakan mendapat legitamasi, seiring dengan dikeluarkannya Pergub Aceh tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh pada 2007. Adanya SKB tiga menteri, ditambah dengan dikeluarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh (lihat Pasal 127 ayat 4), sehingga Aceh tentunya termasuk Kabupaten Aceh Singkil, berlaku prinsip hukum lex spesialis dan lex generalis.
Sekarang jumlah rumah ibadah umat Kristiani di Aceh Singkil terus bertambah, telah melebihi dari yang pernah disepakati. Saat ini, ada empat unit gereja dan 23 unit undung-undung, yang sebagian didirikan tanpa ada izin alias ilegal. Ini terkesan adanya “pengangkangan” terhadap kesepakatan dan regulasi ada, yang kemudian memantik emosi warga. Akibatnya, beberapa warga Muslim merasa gerah dan berang.
Sudah berbilang kali warga muslim mengingat ke pihak-pihak yang berkompeten. Malah dengan melancarkan unjuk rasa segala. Tetapi persoalan ini seakan dilihat dengan sebelah mata dan dijawab dengan deal-deal yang irama rentak tarinya meliuk-liuk liar. Pengangkangan dan pembiaran seperti di atas, membuat penyebab pertentangan atau konflik di Aceh Singkil semakin meruyak lebar.
Kedua, munculnya prasangka sosial yang mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaiaan secara tuntas. Pada akhirnya, prasangka sosial yang tak kunjung selesai telah menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena prasangka sosial ini pula, telah memunculkan konsep in-group dan out group di Aceh Singkil. Menganggap kelompok orang-orang seide atau seideologi sebagai kelompok yang benar. Sebaliknya, orang lain tidak benar. Malah, dianggap sebagai ancaman.
Ketiga, akhir-akhir ini, seiring dengan “kemajuan” jaman, sebagian cara umat beragama fanatik berlebihan tanpa dasar dan keliru dalam memahami kehidupan beragama. Ini juga telah menjadi andil pemicu `gesekan sosial’ di Aceh Singkil. Sedikit saja ada selebaran dengan kata atau kalimat yang miring, umat langsung terprovokatif dan tersulut. Lantas memaki dan berang. Tidak jarang, saling memojokkan.
Keempat, komunikasi massa selama ini, di Aceh Singkil kurang terbangun dengan sehat dan kondusif. Even-even antar etnis dan dialog-dialog budaya jarang digelar di Aceh Singkil. Kalau pun ada, lebih bernuansa ekonomis ketimbang humanis dan sosialis. Dan, kelima, konflik Aceh Singkil juga diandili oleh akumaulasi sosial ekonomi. Tapi hal ini, belum termasuk penyebab yang terlalu kental.
Sekitar 36 tahun lalu, tepatnya pada 1979, pernah ada kesepakatan antara warga Aceh Singkil tentang pendirian rumah ibadah umat Kristiani. Dalam kesepakatan itu, gereja dibenarkan berdiri hanya satu unit. Sedangkan undung-undung (sejenis gereja kecil) empat unit. Lalu 22 tahun kemudian atau tepatnya 2001, perjanjian itu diperkokoh kembali.
Komitmen ini seakan mendapat legitamasi, seiring dengan dikeluarkannya Pergub Aceh tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh pada 2007. Adanya SKB tiga menteri, ditambah dengan dikeluarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh (lihat Pasal 127 ayat 4), sehingga Aceh tentunya termasuk Kabupaten Aceh Singkil, berlaku prinsip hukum lex spesialis dan lex generalis.
Sekarang jumlah rumah ibadah umat Kristiani di Aceh Singkil terus bertambah, telah melebihi dari yang pernah disepakati. Saat ini, ada empat unit gereja dan 23 unit undung-undung, yang sebagian didirikan tanpa ada izin alias ilegal. Ini terkesan adanya “pengangkangan” terhadap kesepakatan dan regulasi ada, yang kemudian memantik emosi warga. Akibatnya, beberapa warga Muslim merasa gerah dan berang.
Sudah berbilang kali warga muslim mengingat ke pihak-pihak yang berkompeten. Malah dengan melancarkan unjuk rasa segala. Tetapi persoalan ini seakan dilihat dengan sebelah mata dan dijawab dengan deal-deal yang irama rentak tarinya meliuk-liuk liar. Pengangkangan dan pembiaran seperti di atas, membuat penyebab pertentangan atau konflik di Aceh Singkil semakin meruyak lebar.
Kedua, munculnya prasangka sosial yang mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaiaan secara tuntas. Pada akhirnya, prasangka sosial yang tak kunjung selesai telah menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena prasangka sosial ini pula, telah memunculkan konsep in-group dan out group di Aceh Singkil. Menganggap kelompok orang-orang seide atau seideologi sebagai kelompok yang benar. Sebaliknya, orang lain tidak benar. Malah, dianggap sebagai ancaman.
Ketiga, akhir-akhir ini, seiring dengan “kemajuan” jaman, sebagian cara umat beragama fanatik berlebihan tanpa dasar dan keliru dalam memahami kehidupan beragama. Ini juga telah menjadi andil pemicu `gesekan sosial’ di Aceh Singkil. Sedikit saja ada selebaran dengan kata atau kalimat yang miring, umat langsung terprovokatif dan tersulut. Lantas memaki dan berang. Tidak jarang, saling memojokkan.
Keempat, komunikasi massa selama ini, di Aceh Singkil kurang terbangun dengan sehat dan kondusif. Even-even antar etnis dan dialog-dialog budaya jarang digelar di Aceh Singkil. Kalau pun ada, lebih bernuansa ekonomis ketimbang humanis dan sosialis. Dan, kelima, konflik Aceh Singkil juga diandili oleh akumaulasi sosial ekonomi. Tapi hal ini, belum termasuk penyebab yang terlalu kental.
B.KONFLIK DI BIDANG KEAGAMAAN
Di tengah belum sembuh luka tragedi Tolikara beberapa
bulan lalu, keributan bernuansa agama pecah lagi. Kali ini terjadi di Kabupaten
Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Satu gereja dibakar massa dan dua orang meninggal
dunia. Menurut penuturan saksi seorang pendeta, massa bersenjata tajam, dengan
berbagai jenis kendaraan bak terbuka yang diperkirakan berjumlah 700 orang,
sekitar pukul 11.00 WIB (Selasa, 13 Oktober 2015) mendatangi Gereja HKI Deleng
Lagan, Kecamatan Gunung Meriah, lalu membakar rumah ibadah Nasrani tersebut.
Tak hanya itu, massa juga membakar satu undung-undung (rumah ibadah berukuran
kecil). Untungnya saat hendak merangsek ke tempat ketiga, massa langsung
diamankan tentara dan polisi.
Dampak dari insiden itu, seorang sopir mobil tangki
minyak sawit beragama Kristen, yang baru kembali dari Medan ke Singkil,
meninggal terkena razia masyarakat di Jembatan Desa Buluh Seuma, Kecamatan
Suro. Selain satu orang tewas, tujuh orang terluka (enam berasal dari warga,
sedangkan satu lainnya merupakan prajurit TNI) dalam kerusuhan tersebut. Pasca
kerusuhan, kurang lebih 1.900 warga Singkil, mengungsi ke wilayah Sumatera
Utara (Medan Bagus.com, 14/10). Berdasarkan data sementara 1000 orang mengungsi
di Kabupaten Tapanuli Tengah dan di wilayah Phak-Phak Barat sebanyak 900. Kini
situasi di Aceh Singkil mulai tenang setelah polisi dan tentara mengerahkan 300
personel ke wilayah itu.
Kita berharap aparat dan pemerintah bersiaga penuh untuk
semaksimal mungkin meredam dan melokalisir kisruh tersebut agar dampaknya tak
terus merembet sehingga makin banyak menelan korban. Apalagi konflik sejenis
bukan baru kali pertama terjadi. Selama 17 tahun terakhir, pasca reformasi
terjadi insiden pembakaran sebanyak 1.000 lebih gereja di Indonesia. Ini bukan
angka yang kecil untuk ukuran negeri yang disebut-sebut sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia dan sudah sekian lama menjadikan pluralisme
sebagai atap hidup berbangsa.
Karena konflik sejenis sering terjadi, tak berlebihan
jika rakyat bertanya-tanya mengapa aparat tak bersigap menangkal sedini
mungkin? Menurut Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
Aceh Hendra Saputra, ia sempat mendapat sebaran pesan singkat (SMS)
mengenai aksi masa sebelum bentrokan di Aceh Singkil Terjadi.Tetapi pemerintah
dan kepolisian tidak melakukan apapun untuk meredam kerusuhan itu (CNN
Indonesia 14/10).
Bab 2Pecahnya konflik singkil
PENGUNGSIAN WARGA AKIBAT KONFLIK
Kepolisian Daerah Sumatea Utara mencatat adanya 4.409 warga
Kabupaten Aceh Singkil mengungsi ke provinsi itu untuk menghindari konflik yang
terjadi.Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Helfi Assegaf, di Medan, Rabu,
mengatakan, warga Aceh Singkil tersebut mengungsi ke dua kabupaten di Sumut
yakni Tapanuli Tengah 3.433 orang dan Pakpak Bharat (976 orang).Di Tapanuli
Tengah, warga Aceh Singkil tersebut ditampung di lima lokasi di Kecamatan
Manduamas yakni Gereja HKI, Balai Desa Saragih, SMP 1 Atap Saragih, Gereja HKBP
Saragih, dan Katolik Paroki Tumba Jahe.Meski jumlah pengungsi ke Tapanuli
Tengah diketahui sebanyak 3.433 orang, tetapi pihaknya masih melakukan
pendataan untuk mengetahui jumlah pengungsi dewasa dan anak-anak.
Dengan koordinir Camat Manduamas Sehat Dalimunthe, telah dilakukan langkah-langkah penanganan seperti penyediaan beras, mie instan, telur, minyak goreng, air mineral, ikan, tenda, peralatan dapur, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, telah ditempatkan personel Satuan Brimob Detasemen C (34 orang), Korem 023/Kawal Samudera (28 orang), dan Kodim 0211/Tapanuli Tengah (40 orang) guna menjaga perbatasan Sumut dengan Aceh Singkil."25 personel Polri juga stand by di Polsek Manduamas," katanya.
Adapun pengungsi di Pakpak Bharat ditempatkan di kantor Kecamatan Sibagindar, sekolah, rumah penduduk, dan tenda-tenda yang telah disiapkan.
Pemkab Pakpak Bharat juga menyiapkan berbagai logistik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi dari Aceh Singkil tersebut.
"Kendaraan yang akan masuk ke wilayah Aceh Singkil juga diperiksa di perbatasan oleh aparat TNI dan Polri," ujar Helfi.Berdasarkan keterangan pengungsi yang ada di Tapanuli Tengah, warga Aceh Singkil itu mengungsi karena mendapatkan informasi bahwa ada kelompok masyarakat dari Singkil yang mengejar mereka.
"Karena merasa ketakutan, mereka lari ke berbagai arah, hingga Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat," ujar Helfi.Sebelumnya pada Selasa (13/10) siang, terjadi bentrokan massa di Desa Kuta Lerangan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.Menurut keterangan polisi, bentrokan tersebut terjadi akibat adanya sekumpulan warga yang diduga ingin membongkar rumah yang dijadikan tempat ibadah tanpa izin sehingga mendapat perlawanan dari warga setempat.
Dengan koordinir Camat Manduamas Sehat Dalimunthe, telah dilakukan langkah-langkah penanganan seperti penyediaan beras, mie instan, telur, minyak goreng, air mineral, ikan, tenda, peralatan dapur, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, telah ditempatkan personel Satuan Brimob Detasemen C (34 orang), Korem 023/Kawal Samudera (28 orang), dan Kodim 0211/Tapanuli Tengah (40 orang) guna menjaga perbatasan Sumut dengan Aceh Singkil."25 personel Polri juga stand by di Polsek Manduamas," katanya.
Adapun pengungsi di Pakpak Bharat ditempatkan di kantor Kecamatan Sibagindar, sekolah, rumah penduduk, dan tenda-tenda yang telah disiapkan.
Pemkab Pakpak Bharat juga menyiapkan berbagai logistik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi dari Aceh Singkil tersebut.
"Kendaraan yang akan masuk ke wilayah Aceh Singkil juga diperiksa di perbatasan oleh aparat TNI dan Polri," ujar Helfi.Berdasarkan keterangan pengungsi yang ada di Tapanuli Tengah, warga Aceh Singkil itu mengungsi karena mendapatkan informasi bahwa ada kelompok masyarakat dari Singkil yang mengejar mereka.
"Karena merasa ketakutan, mereka lari ke berbagai arah, hingga Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat," ujar Helfi.Sebelumnya pada Selasa (13/10) siang, terjadi bentrokan massa di Desa Kuta Lerangan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.Menurut keterangan polisi, bentrokan tersebut terjadi akibat adanya sekumpulan warga yang diduga ingin membongkar rumah yang dijadikan tempat ibadah tanpa izin sehingga mendapat perlawanan dari warga setempat.
Bab 3
‘Piagam
Madinah’ Solusi Konflik Singkil
SATU hari menjelang tahun baru
Islam, 1 Muharam 1437 Hijriyah, kita di Aceh dikejutkan dengan pecahnya satu
peristiwa yang melukai kerukunan hidup umat beragama di Aceh Singkil. Dikabarkan
kondisi mencekam lantaran ada rumah ibadah yaitu satu gereja di Desa Suka
Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, dibakar (13/10/2015).
Peristiwa yang juga merenggut
satu korban jiwa itu, menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak; baik
pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, LSM maupun politisi negeri
ini. Kita semua tentu sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh
dilakukan, apalagi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Rumah ibadah, merupakan lambang
sebuah agama,
dan bagi pemeluknya merupakan hal yang esensial. Baik dalam agama Islam,
Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah ibadah merupakan
tempat yang selalu dijaga, dirawat dan dibangun bersama. Kasus di Aceh Singkil
bukanlah kasus yang pertama yang terjadi di Republik ini. Kita masih ingat hal
serupa, misalnya, sebelumnya terjadi di Kabupaten Talikara, Papua, saat Hari
Raya Idul Fitri 1436 H lalu (aceh.tribunnews.com, 18/7/2015).
Dua kasus di atas bisa menjadi
refleksi bersama terkait kebebesan beragama di Indonesia. Ini merupakan
wajah suram demokrasi kita, di mana negara belum mampu sepenuhnya menjamin hak
asasi manusia.
Dalam laporan tahunan, The
Wahid Institute menunjukkan angka kekerasan dengan motif agama dari tahun ke tahun terus naik,
pada 2009 terjadi 121 kasus/peristiwa, 2010 ada 184 kasus, 2011 sebanyak 267 kasus,
2012 terdapat 278 kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014 tercatat sebanyak
154 kasus terjadi.
Dengan data dan fakta tersebut,
maka masalah kebebasan beragama/berkeyakinan
dan intoleransi masih belum selesai di negara kita ini. Indonesia yang aman dan
jauh dari kekerasan belum terwujud.
Konflik yang terjadi di Aceh Singkil
sudah terjadi beberapa tahun,dalam peristiwa tersebut masyarakat di Aceh
Singkil mengalami kesusahan karena bentrokan,tauran,pembakaran Gereja-Gereja
Kristen.Masyarakat Aceh sangat kawatir hal ini akan menjadi lebih silit di
hentikan.
Banyak penduduk yang mengungsi ke
Sumatera Utara untuk semenara demi meng hindari kekerasan yang terjadi di Aceh
Singkil,kejadian ini sudah sampai pada telinga pemerintah.Pemerintah sedang
menyusun rencana untuk menyelesaikan konflik ini secepat nya
Ada lembaga-lembaga khusus yang
dibentuk untuk menyelesaikan konflik ini.Jika
lembaga-lembaga yang sudah dibentuk tidak mencari jalan keluarnya maka konflik
ini akan menyebar keberapa daerah
The Wahid
Institute menunjukkan angka kekerasan dengan motif agama dari tahun ke tahun terus naik, pada 2009 terjadi 121
kasus/peristiwa, 2010 ada 184 kasus, 2011 sebanyak 267 kasus, 2012 terdapat 278
kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014 tercatat sebanyak 154 kasus terjadi.
Sekarang sudahmulai ada warga warga sepakat
bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dilakukan, apalagi sampai
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Rumah ibadah, merupakan lambang sebuah agama, dan bagi pemeluknya merupakan hal yang
esensial. Baik dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah ibadah merupakan tempat yang selalu dijaga,
dirawat dan dibangun bersama.
Pihak-pihak yang
berkonflik sudah sepakat perenintah menjadi pihak ketiga untuk membantu
menyelesai kan masalah ini,cepat atau lambat konflik ini akan
diselesaikan,tetapi pasti masih ada orang-orang yang masih memiliki rasa tidak
senang
Jika konflik ini
tidak bias diselesaikan dengan cara-cara atau rencana yang sudah dibuat makan
pemerintah akan melakukan tindakan yang lebih tegas untuk menyelesaikan konflik
ini.
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN……………………..………………….…………………3
· LATAR BELAKANG…………………………………………………………….3
BAB II : PEACAHNYA
KONFLIK SINGKIL……………………….6
A.FAKTOR-FAKTOR PECAHNYA KONFLIK………………6
B.KONFLIK DIBIDANG KEAGAMAAN…………………………….9
BAB III : DAMPAK KONFLIK
SINGKIL………………………………11
· PENGUNGSIAN WARGA AKIBAT
KONFLIK……11
BAB IV : SOLUSI……………………………………………………………………………13
·
‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil…………….13
BAB
V :
KESIMPULAN……………………………………………………………..14
DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/14/063709353/tragedi-aceh-singkil-pemerintah-diminta-mediasi-konflik
http://news.detik.com/berita/3045598/uyung-korban-bentrok-aceh-singkil-sukses-jalani-operasi-pengangkatan-peluru
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/10/15/nw8y7w282-akar-konflik-kerusuhan-di-singkil-dimulai-sejak-1979
http://www.dw.com/id/aceh-membara-disulut-konflik-agama/a-18780213
http://aceh.tribunnews.com/2015/10/21/konflik-singkil-kearifan-yang-terkoyak
http://analisadaily.com/index.php/opini/news/konflik-singkil-dan-kecemasan-beragama/179625/2015/10/16
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala ciptaanNya kami dapat menyusun makalah
meskipun banyak kekurangan didalamnya.Dan kami juga berterima kasih kepada
Bapak Guru Zaharuddin Pane.SPd yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat makalah ini berguna untuk
menambah informasi tentang Konflik Singkil di Aceh.Oleh sebab itu,kami berharap
adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan dating, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangunkan.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik
dan saran yang membangun demi kebaikan di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar