SANGKURIANG SAKTI
Pada zaman dahulu kala, di daerah Parahiyangan
Jawa Barat ada sebauh kerajaan yang diperintah oleh Prabu Galuga. Ia seorang
raja yang gagah perkasa. Umurnya sudah 40 tahun namun ia tidak mempunyai
permaisuri, memang dia tidak ingin beristri. Karena sang Prabu tidak juga
beristri, kadang-kadang ayahnya yang sudah hidup sebagai pertapa datang ke
istana untuk memberi nasihat.
Ayah Prabu
Galuga : “Anakku, kau harus segera mempunyai permaisuri
yang akan melahirkan penerus kerajaan ini !”
Prabu Galuga
:
“Ah, ramanda tidak usah kuatir. Bila nanti tiba saatnya saya pasti akan
mendapatkan jodoh. Sekarang ini saya masih belum berniat untuk beristi.”
Ayah Prabu Galuga
: “Kau ini
bagaimana? Kodrat seorang raja adalah menikah mempunyai anak. Kau jangan
menentang ketentuan Yang Maha Kuasa.” (dengan nada tinggi karena kesal)
Prabu Galuga
: “Mohon maaf
rama. Saya belum berminat.”
Ayah Prabu Galuga : “Ya sudah, tapi
harus kau camkan peringatanku ini. Seingatku sudah dua kali aku menasehati kau
tentang pentingnya seorang istri bagimu.”
Prabu
Galuga :
“Saya akan pertimbangkan rama.”
Ayah Prabu galuga : “Baiklah aku akan kembali
ke pertapaan.” (sambil berjalan menuju pertapaannya)
Selang seminggu setelah kedatangan ayahnya,
sang ayah meninggal dunia. Suatu hari Prabu Galuga ingin berburu binatang,
biasanya ia ditemani pengawalnya dan seekor anjing istana yang konon adalah
jelmaan dewa.
Prabu Galuga : “Ayo pengawal kita
berangkat sekarang.”
Pengawal
: “Baik tuan.”
Prabu Galuga : “Ada apa ini ? kenapa anak
panahku tak pernah mengenai sasaran?” (berbicara sendiri)
Pengawal
: “Ada apa gusti Prabu ?”
Prabu Galuga : “Aku bingung pengawal mengapa
anak panah ku meleset terus.”
Pengawal
: “Saya rasa hari ini kita belum beruntung tuan.”
Prabu Galuga : “Emm. Pengawal cepat
tinggalkan aku sendiran!”
Pengawal
: “ Memangnya ada apa gusti Prabu?”
Prabu Galuga : “Aku mau buang air kecil,
cepat kau pergu dari sini!” (sambil mendorong pengawal karena sedikit kesal)
Beberapa saat kemudian
Pengawal
: “Tuan apa tidak sebaiknya kita pulang saja. Karena hari telah sore.”
Prabu Galuga : “Aku rasa kau benar. Ayo kita
pulang sekarang.”
Sembilan bulan kemudian Prabu Galuga pergi
berburu ke tempat yang sama. Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi.
Prabu Galuga : “Aneh? Anak siapa yang
ditinggalkandi tengah-tengah hutan seperti ini?” (sambil mencari dari mana
asalnya suara tersebut)
Pengawal
: “Gusti Prabu! Tak usah dihiraukan. Jangan-jangan suara jin perewangan!”
Prabu Galuga : “Sebaiknya kita cari suara
tangisan bayi itu pengawal!”
Pengawal
: “Baik tuan.”
Prabu Galuga : “Hah? Seorang bayi? Siapa
orang yang tega meinggalkan bayinya di tengah hutan begini?” (kaget dan heran)
Ia menggendong bayi itu, sementara dari balik
semak-semak seekor babi hutan betina memperhatikannya. Hanya tetes air mata
berlinangan di wajahnya. Tiba-tiba terdengar sebuah suara mengiang di
telinganya.
Dewi
: “Prabu Galuga! Bayi itu adalah anakmu dengan bidadari yang tengah menjalani
hukuman dari para dewi. Kodrat seorang manusia adalah menikah dan mempunyai
anak, kau telah mencoba mengelak dari kodrat, bawalah bayi itu pulang!”
Bayi itu diasuh dan diberi nama Nyi Dayang
Sumbi. 17 tahun kemudian gadis kecil itu telah tumbuh menjadi seorang dara
cantik jelita. Hampir setiap pekan datang lamaran. Namun ia selalumenolaknya.
Hal itu membuat prabu galuga mulai berpikir.
Prabu Galuga : “Apakah ini sebuah karma
bagiku?” (berkata dalam hati)
Dayang Sumbi
: “ Ada apa ayah ?”
Prabu Galuga : “Kau harus segera menikah
Sumbi!”
Dayang Sumbi : “Ampun ayahanda. Hamba belum berminat
untuk berumah tangga.”
Prabu Galuga : “Sumbi, hanya ada dua pilihan
bagimu. Mau menikah atau kau kuasingkan di tepi hutan. Hanya ditemani seekor
anjing dan jangan pernah kembali ke istana, kecuali aku sendiri yang
memerintahmu!”
Dayang Sumbi
: “Baiklah aku akan memilih tinggal
di tepi hutan.”
Sesampainya ditepi hutan
Tumang
: “Sumbi kau tidak usah bersedih saya akan setia menemanimu sampai kau
diperintahkan untuk kembali ke kerajaan lagi.”
Dayang Sumbi : “(kaget dan heran) benarkah itu
suaramu tumang? Apa kau bisa bicara? Oh tumang akhirnya aku punya teman di
tengah-tengah kesepian ini.”
Tumang
: “Benar Sumbi aku bisa bicara. Aku akan menjadi temanmu selama kamu kesepian.
Tapi apa kamu mau berteman dengan seekor anjing sepertiku?”
Dayang Sumbi : “Aku tak peduli meskipun kau seekor
anjing. Yang penting aku punya teman sekarang.”
Suatu hari ketika sedang menenun salah satu
tongkatnya jatuh kebawah dangau. Ia merasa malas untuk mengambil.
Dayang Sumbi : “Siapa yang mau mengambilkan
tongkatku ia akan aku jadikan suami.”
Tumang
: “Ini tongkatmu Sumbi.”
Dayang Sumbi : “Tumang bukan engkau yang
kumaksud.”
Dewi
: “Dayang Sumbi kau adalah bidadari. Bidadari pantang menjilat ludahnya
sendiri, lagi pula si Tumang memang jodohmu. Sesunggnya anjing itu adalah
jelmaan dewa.”
Dayang Sumbi Dikaruniai anak laki-laki tampan.
Ia diberi nama Sangkuriang. Tak terasa sangkuriang sudah tumbuh besar dan panai
berburu. Suatu hari sangkuriang hendak berburu.
Dayang Sumbi : “Nak, bawakan ibu daging kijang yah?”
Sangkuriang : “Ya bu.”
Lewat lah seekor babi putih.
Babi putih : “Menantuku tumang, apakah itu cucuku
?”
Tumang
: “ Benar bu dia adalah sangkuriang cucu ibu.”
Babi putih
: “Oh tuhan, aku ingin memeluk dan
berbicara dengan cucuku tapi apalah daya ini dia tak mungkin percaya terhadap
ucapanku.”
Sangkuriang : “Tumang! Cepat
gigit babi itu!”
Babi putih
: “mengapa kau tega nak. Aku ini
nenekmu. Aku nenekmu nak.” (berbicara dalam hati)
Sangkuriang : “Hei Tumang apa kau
tidak dengar kataku! Cepat gigit babi itu!”
Tumang hanya terdiam
Sangkuriang : “Ayo tumang
serang dia! Tumang mengapa kau menjadi bodoh begitu? Huh dasar anjing bodoh!”
Sangkuriang memanah ke arah babi itu. Namun
anak panah tepat mengenai tumang. Kemudian ia menyembelih anjing itu. Sampai
dirumah daging itu dimasak oleh dayang sumbi dan dimakan bersama-sama.
Dayang Sumbi : “Sangkuriang. Kemana si tumang?”
Sangkuriang : “Bu. Anjing
itu sudah berani melawan perintahku. Tadi kusuruh menyerang babi hutan malah
diam saja. Akhirnya dialah yang ku panah.”
Dayang Sumbi
: “Apa? Si tumang kau bunuh?”
Sangkuriang : “Kenapa bu?”
(terkejut)
Dayang Sumbi
: “Si Tumang. Si Tumang kau panah,
kau bunuh?” (berbicara terbatah-batah)
Sangkuriang : “Benar bu!
Memangnya kenapa?”
“PPRRAAKK” dayang sumbi memukul kepala
sangkuriang dengan entong.
Dayang Sumbi
: “Pergi kau dar hadapanku! Dasar
anak durhaka!”(bentak dayang sumbi)
Sangkuriang : “Baik aku akan
pergi bu dan tidak akan kembali lagi.”
Ia bertemu pertapa sakti.
Guru
: “Siapa namamu nak? Mengapa kau tergeletak ditengah-tengah
hutan?”(membangunkan sangkuriang)
Sangkuriang : “Emm..aku tak thu siapa namaku. Dan
kau juga tak tahu tentang diriku sendiri.”
Guru
: “Wah. Sepertinya kau hilang ingatan. Maukah kau menjadi salah satu muridku?”
Sangkuriang : “Baik bapak guru.”
Guru
: “Dan sekarang aku akan memberimu nama Jaka Galih.”
12 tahun kemudian.
Guru
: “Sudah saatnya kau mengamalkan ilmu kepada masyarakat yang telah ku ajarkan!”
Sangkuriang : “Baik bapak. Saya akan berpetualang
untuk membantu masyarakat.”
Guru
: “Pesanku janganlah kau berjalan ke arah selatan.”
Sangkuriang : “Kenapa saya tidak boleh berjalan ke
arah selatan bapak guru?”
Guru
: “Sudahlah turuti saja nasihatku. Supaya kau tidak ditimpa nasib yang sial.”
Sangkuriang : “Saya akan mengingat pesan
bapak guru.”
Ia segera meninggalkan pertapaannya. Suatu
ketika, ia berkelahi dengan raja jin dan dia berhasil mengalahkan raja jin
tersebut sehingga raja jin tunduk kepada sangkuriang.
Raja Jin
: “Saya berjanji
suatu ketika saya akan membantu tuan.”
Sangkuriang : “Bagaimana caraku memanggilmu?”
Raja
Jin :
“Sebut namaku dan hentakkan kaki tuan tiga kali, maka aku akan datang dengan
pasukanku.”
Sangkuriang : “Baiklah kalau begitu.”
Suatu hari ia idak menyadari bahwa ia berjalan
ke arah
selatan. Ia
melihat seorang gadis. Hatinya berdebar kencang, dan ia pun terpesona. Lalu
mereka berkenalan.
Sangkuriang
: “Siapa namamu nona?”
Dayang Sumbi
: “Nama saya dayang sumbi tuan. Dan siapa nama Tuan?”
Sangkuriang
: “Nama saya Jaka Galih. Bolehkah saya mengantarkan nona pulang?”
Dayang Sumbi
: “Tentu saja tuan.”
Sangkuriang
: “Apakah itu rumahmu?”
Dayang Sumbi
: “Ia tuan. Itu ramah saya.”
Sangkuriang
: “Kalau begitu saya mohon pamit nona.”
Dayang Sumbi
: “Tapi hari sudah gelap. Apa
tidak sebaiknya kamu menginap di atas dangau?”
Sangkuriang
: “Baiklah. Jika itu pintamu.”
Suatu hari mereka sedang bercengkrama,
tiba-tiba...
Dayang sumbi
: “Aku rasa ada bekas
luka di kepalamu ?”
Sangkuriang
: “Benarkah?”
Dayang Sumbi
: “Benar. Bisakah kau ceritakan sebab lukamu itu?”
Tiba-tiba Sangkuriang sedikit teringat masa
lalunya.
Dayang Sumbi
: “Memangnya apa penyebab luka
itu?”
Sangkuriang
: “Itu bekas dipukul entong oleh ibuku sendiri.”
Dayang Sumbi
: “Hah? Dipukul entong?”
Sangkuriang
: “Iya. Ketika aku berusia tujuh tahun, memangnya kenapa?”
Dayang Sumbi
: “Kalau begitu kau adalah
anakku. Kau adalah anakku sangkuriang.”
Sangkuriang
: “Tidak mungkin! Jangan cari-cari alasan! Meskipun namamu dengan nama ibuku
sama, tapi kau tida mungkin ibuku.”
Dayang Sumbi
: “Tapi aku ini ibumu nak.”
Sangkuriang
: “Tidak mungkin kau ibuku. Ibuku pastilah sudah berusia lanjut dan tidak
secantik dirimu.”
Dayang Sumbi
: “Aku adalah keturunan bidadari, dan aku tidak akan tua.”
Sangkuriang
: “Aku tidak percaya dengan ucapanmu itu.”
Dayang Sumbi
: “Oh dewi bagaimana ini?
Tolonglah aku. Dia adalah anakku dewi.”
Sangkuriang
: “Bagaimanapun kau harus menjadi istriku!”
Dayang Sumbi
: “Tidak mungkin aku menikah
dengan kau nak.”
Sangkuriang
: “Kau bukan ibuku, dan aku bukan anakmu.” (dengan nada tinggi)
Dayang Sumbi
: “Baiklah aku mau menikah denganmu, tapi kau harus membuatkanku sebuah telaga
di pucuk gunung.”
Sangkuriang
: “Cuma telaga? Jangan kuatir akan kubuatkan.” (jawabnya dengan mantap)
Dayang Sumbi
: “Bukan hanya itu tapi dengan sebuah perahu besar. Dan semua itu harus kau
kerjakan dalam tempo semalam saja. Sebelum ayam berkokok semua harus sudah
selesai.”
Sangkuriang
: “jangan kuatir. Apapun permintaanmu akan kuturuti.”
Sangkuriang segera memanggil raja jin.
Raja Jin
: “Ada
apa tuanku?”
Sangkuriang : “Cepat
kau bantu aku membuat telaga dan perahu besar.”
Raja Jin
: “Baik tuan.”
Dayang Sumbi : “Oh dewi gagalkanlah kerja jin dan
sangkuriang. Tolong cepatkanlah matahari terbit.”
Dewi
: “Baik Sumbi.”
Ayam jantan pun berkokok.
Raja Jin
: “Coba dengar itu. Itu suara ayam berkokok. Kita harus segera kembali ke alam
jin.”
Jin
: “Benar tuan, jika tidak tubuh kita akan terbakar oleh sinar matahari.”
Sangkuriang : “Hei raja jin ayo lanjutkan
kerjamu!”
Raja Jin
: “Maaf tuan hamba harus pergi karena hari telah pagi.”
Sangkuriang menghampiri dayang sumbi.
Sangkuriang : “Kau curang! Pasti kau menggunakan
kekuatan dewi untuk menggagalkan ini.”(sambil menendang perahu)
Seketika perahu itu berubah menjadi gunung.
Yang diberi nama gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang : “Aku tak
peduli apapun yang terjadi, kau harus menjadi istriku!”
Dayang Sumbi : “Sangkuriang sadarlah. Kau adalah
anakku.” (sambil berjalan menjauhi sangkuriang)
Sangkuiang :
“Keujung duniapun kau berjalan aku akan mendapatkanmu!” (teriak sangkuriang)
Dayang Sumbi
: “Wahai Dewi tolonglah hamba.
Selamatkanlah hamba!”
Namun dalam sekejap sangkuriang memegang tangan
dayang sumbi.
“BBLLAARR” tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat.
Tubuh dayang sumbi menghilang.dia diselamatkan oleh dewi kekayangan.
Dayang Sumbi
: “Oh dewi terima kasih, kau telah
menyelamatkanku.”
Dewi
: “Sama-sama dayang sumbi. Bagaimanapun para dewi tidak mengizinkan seorang
anak mengawini ibunya sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar