Perang Padri adalah peperangan yang
berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1]Perang
ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam
masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai
dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang
dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan
oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud
seperti perjudian, penyabungan ayam,penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan
juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak
adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang
ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam
peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang
Dipertuan Pagaruyung waktu
itu Sultan
Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai
terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada
tahun 1821. Namun
keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833
Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun
pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk
peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan
mengorbankan jiwa raga. Perang ini
selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari
kawasan konflik.
Ada beberapa rumusan yang kami jadikan permasalahan dalam makalah
ini, yaitu :
A. Kapan
terjadinya perang paderi?
B. Apa yang
menjadi latar belakang dari peperangan tersebut?
C. Siapa
saja yang terlibat dalam peperangan ini?
Adapun tujuan dari pembuatn makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia II. Dosen Pengampuh. Drs.
Sudjitro.
B. Menjadikan
bahan latihan bagi kami untuk menceritakan kembali sejarah perang paderi
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Memberikan
pengetahuan baru bagi kami sebagai penulisan dan juga teman-teman prodi sejarah
B. Setelah
memahami dari sejarah perang paderi ini. Diharapkan kita bias mengambil manfaat
dan segala sesuatunya yang tersirat dalam sejarah perang ini.
Perang Padri
dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkahsekitar
tahun 1803, yaitu
Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang
ingin memperbaiki syariat Islam yang
belum sempurna dijalankan oleh masyarakatMinangkabau.[3] Mengetahui
hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan
ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain
diMinangkabau yang
tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4]
Harimau Nan Salapan
kemudian meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam
beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya
pada tahun 1815, Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto
Tangah. Serangan ini menyebabkan
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota
kerajaan.[5] Dari
catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun1818,
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyungyang sudah terbakar.[6]
Karena terdesak dalam
peperangan dan keberadaan Yang
Dipertuan Pagaruyungyang
tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan
Tangkal Alam Bagagarmeminta
bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821,
walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak
membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat
dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintahHindia-Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah
Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena
diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai
dengan penyerangan Simawang danSulit
Air oleh pasukan Kapten
Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian
pada 8 Desember 1821 datang
tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Raaff untuk memperkuat
posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan
Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum
Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan
nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan
pasukan Raaff di Tanjung
Alam dihadang oleh Kaum
Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada
tanggal 14 Agustus 1822 dalam
pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal
dunia pada 5 September 1822. Pada
bulan September 1822pasukan
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena
terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan
pasukan pada 13 April 1823, Raaff
mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyahkembali ke Pagaruyung atas
permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825Sultan
Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan
di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal
dunia secara mendadak di Padang pada
tanggal 17 April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824,
pasukan Belanda di bawah pimpinanMayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di
antaranya Koto Tuo dan Ampang
Gadang. Kemudian mereka juga
telah mendudukiBiaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824,
Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]
Perlawanan yang dilakukan
oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk
menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak
pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian
Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal
ini dimaklumi karena disaat bersamaan PemerintahHindia-Belanda juga
kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa danJawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga
mencoba merangkul kembali Kaum Adat.
Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat
Puncak Pato" di Bukit Marapalam,Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agamaIslam,
sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Rencehsebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus
panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16]
Pada masa kepemimpinannya,
ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap
saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi
lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan
cinta tanah air.
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa,
Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal
ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang
sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas
perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa.
Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada
satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk
melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya
dengan menyerang nagari Pandai
Sikek yang merupakan salah
satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan
senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang
dikenal dengan nama Fort de
Kock.
Pada awal bulan
Agustus 1831 Lintau
berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih
tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan
Kolonel Elout melakukan berbagai
serangan terhadap Kaum Padri antara tahun1831–1832, ia
memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada
Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun
kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di
Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda
membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di
Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap
dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun
di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu
ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan
kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada bulan Juli 1832, dari
Jakarta dikirim pasukan infantri dalam
jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand
P. Vermeulen Krieger, untuk
mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada
bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan
dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan
konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga
dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832,
sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan
bertahan diBonjol.
Selanjutnya pasukan
Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi
basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833,
pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum
mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18]Namun dalam pertempuran di Air Bangis,
pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku
Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk
diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh
tentara Belanda.[19]
Sejak tahun 1833 mulai
muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Diujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang
ini (1803–1823),
dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan
sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa
kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan
menjadi kacau,[21] disebutkan ada sekitar 139 orang
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan
Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkaratas
tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau
dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya
dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga
tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya.
KedudukanRegent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini
Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan
masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belandapada
tahun 1833 mengeluarkan
pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan
bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai
negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan,
penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka
dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan,
membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi dan
mesti menjualnya kepada Belanda.
Lamanya penyelesaian
peperangan ini, memaksa Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda Johannes
van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi
ke Padang untuk
melihat dari dekat proses operasi militer yang
dilakukan oleh pasukan Belanda.[22]Sesampainya di Padang, ia
melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir
Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan
Kolonel Elout untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum
terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari
belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng
Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua
opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan
pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian
berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan
dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda
seperti meriam beserta
perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata danpakaian yang
melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September1833,
sebelum Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda digantikan
oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol
gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama
tahun 1834 Belanda
hanya fokus pada pembuatan jalan danjembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol.
Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada
beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835,
Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk
menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militerdimulai
pada tanggal 21 April 1835,
pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan
Kolonel Bauer, memecah pasukannya
menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan
Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang
saat itu tengah dilanda banjir, dan
terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan
pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang,
kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu
jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan
Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti,
sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh
tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan
rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan
Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu
pembuatanjembatan menuju
Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju
pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang
diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan
dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai
oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan
Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24]
Selanjutnya pada
tanggal 11 Juni 1835 pasukan
Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan disana, sementara
pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil
mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam
tanggal 16 Juni 1835,
kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan
menggunakan houwitser, mortir dan meriam,
pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak
tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan
posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali
datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen
Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan
kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir
yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol terletak di
atas bukit yang
hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh
dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang,sebuah sungai di
tengah lembah dengan
aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk
segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis
setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang
dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar
dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan
di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat
sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada
pasukan Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang
sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun
kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]
Melihat kokohnya Benteng
Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan
tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri.
Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu
pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh
pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Disaat bersamaan seluruh
pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan
pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya.
Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik
darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan
serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala
bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang,
maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan
mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada
disekitar Bukit Tajadi.[27]
Namun sampai awal
September 1835,
pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum
Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan
kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan
tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835,
pasukan Belanda mencoba menyerang dari arahLuhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan
banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan
Kolonel Bauer, salah seorang komandan
pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggikemudian
posisinya digantikan oleh Mayor
Prager.
Blokade yang
berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian
rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga
pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang
dan Alahan Matimengangkat senjata dan
menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi
perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang
berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung
Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836,
pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng
Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini
mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk
menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi
Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir
dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali
korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini
benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang
waktu itu telah dipegang oleh Dominique
Jacques de Eerens, kemudian pada awal
tahun 1837 mengirimkan
seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke
Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira
tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan
intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa
perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwirapribumi, 1.103
tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche
hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias
Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya
adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan
Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu
Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto
Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Jakarta didatangkan
terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba
dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa danSepoys,
serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut
dari Ghanadan Mali,
terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh
Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang
serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari
pasukanartileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang
terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837dipimpin
oleh Letnan
Kolonel Michiels sebagai komandan
lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya
pada tanggal tanggal 15 Agustus1837, Bukit
Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng
Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan
didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Dalam pelarian dan
persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap
seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah
lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara
terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk
bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini,
tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis diPadang untuk
mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya
melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari
lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang
ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu
cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi
di bulan Oktober 1837 dan
kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian
terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia
dipindahkan keCianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia
kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku
Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di
daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada
tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.[30]
Meskipun pada tahun 1837 Benteng
Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan
ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di
Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh
pada 28 Desember 1838.[31] Jatuhnya benteng tersebut memaksa
Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai
kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Neerlandica dan wilayah Padangse
Bovenlanden telah berada di
bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Pengaruh dari peperangan
ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang
terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintahHindia-Belanda membangun
sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[32] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa
lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai
kawasan wisata di Minangkabau.[33] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia,
pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh
dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagaiPahlawan Nasional.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
B. Latar Belakang dari Perang
Paderi adalah Perang Padri dimulai
dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang
dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalanganmasyarakat yang disebut Kaum Adat di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam,penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan
juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak
adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
C. Adapun
orang-orang yang terlibat dalam peperangan ini adalah :
1. Kaum
Paderi
2. Kaum
Adat
3. Belanda
Adapun saran-saran yang dapat kami berikan adalah :
1. Belajarlah
dari Sejarah
2. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar